|
16 Feb 2007 Nationalism in Indonesia Buzzing inside Global Pluralism93145 Dengung Nasionalisme di Tengah Pluralisme Global Pesan editor: Artikel di bawah adalah hasil karya juara satu lomba menulis esai tentang Nasionalisme yang diadakan Pelajar Indonesia NTU, Januari 2007. Karena tujuan utama penulisan esai ini adalah orang Indonesia, maka mohon pengertian Anda yang bukan warga Indonesia. Bagi orang bukan warga Indonesia yang tertarik dengan nasionalisme Indonesia dengan senang hati dipersilakan membaca artikel di bawah. Editor note: The article below is a product of the first prize winner of the Essay Writing Competition about Nationalism that is done by NTU Indonesian Student, January 2007. Because the main audience was Indonesian people, for those who are not Indonesian citized please acknowledge. For non-Indonesian citizens who are interested in nationalism in Indonesia, we gladly present the article below. Tidak terasa sudah 61 tahun berlalu sejak bangsa kita memproklamirkan kemerdekaan Indonesia. Namun rasa kebanggaan dan kebangsaan Indonesia. tampaknya semakin terpuruk. Hal ini sedikit tergambarkan dari hasil polling di kompas.com, di mana dari 153.203 responden 24% merasa bangga sebagai bangsa Indonesia dan 76% merasa tidak bangga sebagai bangsa Indonesia (status polling pada tanggal 20-1-2007 pukul 22:43 WIB). Setelah membaca artikel-artikel saudara Haslim Mulyadi yang berjudul “Happy A Brand New Year and Happy Schooling” dan “Udah Merdekakah Kita”, saya merasa sedikit agak terhibur karena ternyata masih ada orang seperti saudara Haslim yang bersedia berbagi rasa kebanggaannya menjadi bangsa Indonesia, yang kalau boleh dilihat memang sudah semakin langka di tengah-tengah manusia yang seakan makin “malu” mengaku dirinya sebagai bangsa Indonesia. Time flies. It’s been 61 years since our nation proclaimed its independence. However the pride of being Indonesian seems to be decreasing. This can be seen by the result of a polling in kompas.com, in which from 153,203 respondents only 24% of them feel proud being Indonesian while 76% feel embarrassed being Indonesian. After reading articles from Haslim Mulyadi titled “Happy A Brand New Year and Happy Schooling” and “Udah Merdekakah Kita”, I feel a bit relieved because it turns out that there are still people like Haslim who willingly share the pride of being Indonesian, which is now becoming more rare between the people who become more embarrassed to acknowledge themselves as Indonesian. Dalam sebuah seminar tentang nasionalisme Indonesia di sebuah perguruan tinggi di Indonesia, bermunculan pertanyaan-pertanyaan seperti apakah nasionalisme itu masih diperlukan, apakah tujuan sebenarnya dari nasionalisme, dan untuk apa nasionalisme masih digembar-gemborkan, bukankah nasionalisme Indonesia itu telah gagal? Serentetan pertanyaan anak-anak muda terdidik ini, yang saya yakini bukanlah pertanyaan yang main-main, tentunya mencerminkan betapa muaknya mereka terhadap segala hal yang dikaitkan dengan nama "Indonesia". Indonesia itu suatu kegagalan. Indonesia itu sesuatu yang tidak patut untuk dipertahankan keberadaannya. Indonesia itu sesuatu yang tak bermakna. Mereka sama sekali tidak punya kebanggaan sedikit pun terhadap Indonesia. Bukan hanya mahasiswa-mahasiswa terpelajar ini sajalah yang kecewa kepada Indonesia, anak-anak muda pedesaan pun tidak percaya lagi kepada Indonesia. Ratusan ribu anak-anak muda desa ini nekat keluar Indonesia dan menjadi tenaga kasar di negara-negara asing. Meskipun mereka dianiaya di sana, tidak menyurutkan minat mereka untuk secara ilegal menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang. In a seminar about Indonesian nationalism held in a tertiary education institution in Indonesia, many questions appeared. Questions like “Is national pride still needed?”, “What is actually the ultimate purpose of national pride?”, and “Why is the national pride still promoted excessively, hasn’t it failed?” keep being questioned by the students. Those questions, which I’m sure are not prank questions, clearly shows that they’re already fed up by anything labeled “Indonesia”. Indonesia is a failure. Indonesia is something whose existence should not be kept. Indonesia is something meaningless. They don’t have any pride being Indonesian. Not only are those educated students disappointed by Indonesia, but also rural youth. Hundreds of thousands of these people bravely went out of Indonesia in order to be “coolie” in foreign countries. Although there have been stories about these “coolies” got beaten often and treated unfair, it didn’t stop them from applying to work illegally in foreign countries. Anda mungkin pernah mendengar kata-kata legendaris Presiden John F Kennedy, “jangan bertanya apa yang dapat diberikan negara kepadamu, tetapi bertanyalah apa yang dapat kamu berikan kepada negara ini”. Mungkin pernyataan ini begitu sulit untuk diterima oleh mereka, karena dalam benak mereka, justru merekalah yang seharusnya bertanya, “apa yang negara telah berikan kepada kami?” Apa yang Indonesia telah berikan kepada kami, anak-anak muda ini, sehingga kami harus rela dianiaya dan menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang? Negeri-negeri ini mampu menghidupi kami. Lebih baik menjadi tenaga kerja kasar di negeri orang daripada menjadi seorang guru besar di Indonesia. Seorang guru besar di Indonesia digaji Rp. 2,5 juta per bulan, sedangkan kami, para pembantu rumah tangga di negeri orang, digaji Rp. 4 juta-Rp. 5 juta per bulan. Lebih baik hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri. Jadi, apa gunanya menjadi orang Indonesia? You may have heard the legendary quote by John F. Kennedy “ask not what your country can do for you — ask what you can do for your country”. Maybe this is the ultimate question that is so hard to be accepted by them, because in their mind, they are the ones who should be asking “What has this country given to me?”. What has Indonesia given to us, the youth, until we must be willingly tortured and be a low-level worker in these foreign countries? These countries can earn us a living. It’s better to be a low-level worker in these foreign countries than to be a professor in Indonesia. A professor in Indonesia will get monthly salary of 2.5 million rupiahs (about 277 USD) while becoming a maid in foreign countries can earn us 4-5 million rupiahs per month (about 442 USD to 552 USD). It’s better to have a rain of gold in another person’s country than to have a rain of stones in our own country. So, what’s the use being an Indonesian? Kita adalah bangsa yang memiliki kekayaan alam yang begitu banyak, tanah yang begitu subur, hasil laut yang begitu melimpah. bukan lautan hanya kolam susu Itulah sepenggal lirik lagu Koes Plus yang secara kasar bisa sedikit menggambarkan seberapa melimpahnya kekayaan alam kita. Tidak berhenti di situ saja, bangsa kita pun memiliki banyak sumber daya manusia yang cerdas dan multitalented. Bangsa kita telah berulang kali mendulang prestasi di berbagai kejuaraan Internasional seperti IPhO, Thomas & Uber Cup, Google Code Jam, dan segudang prestasi lainnya. Semuanya itu sudah seharusnya menjadi kebanggaan kita. We’re a nation who possesses rich natural resources, fertile soil, and countless sea resources. not the ocean only a pool of milk It’s a part of Koes Plus’ song “Kolam Susu” which briefly describe how rich our natural resources are. And not only that, our nation has many clever and multitalented human resources. Our nation has won numerous international competitions like IPhO, Thomas and Uber Cup, Google Code Jam, and so on. All this should be taken into account of our pride. Tetapi di sisi yang ekstrim seringkali kita mempunyai rasa “superiority” yang berlebihan. Kita seringkali memiliki nasionalisme sempit yang didasarkan atas keunggulan-keunggulan yang kita miliki. Kita merasa bangga kalau timnas kita mempercundangi timnas negara lain, kita merasa bangga kalau perkapita negara kita lebih tinggi dari negara lain, atau kita merasa bangga kalau anak-anak bangsa kita mendulang prestasi di skala dunia. Ya betul, di sini saya menggunakan kata bangga, bukan sombong. Memang tidak ada yang salah dengan rasa bangga itu sendiri, namun yang salah itu adalah objek dari rasa kebanggaan yang kita miliki. Apakah nasionalisme itu cuma sesempit itu? Apakah kita bisa bangga dengan anak-anak muda yang bekerja sebagai tenaga kasar di negeri orang? Apakah kita bisa bangga dengan orang-orang tua yang dengan peluh keringat membajak sawah? Apakah kita bisa bangga dengan para nelayan yang rela meninggalkan keluarganya demi menghidupi keluarga mereka? Apakah kita bisa bangga dengan para pemulung yang setiap hari mengorek-ngorek tempat sampah demi mencari sesuatu yang bisa mereka makan? Ya, saya bangga kepada mereka semua, para petani, nelayan, pembantu, dan bahkan pemulung. Pekerjaan mereka sama mulianya dengan guru, dokter, usahawan, pejabat, bahkan presiden. Dalam kesederhanaannya mereka masih dapat merasakan kebahagiaan - kebahagiaan yang bukan sekedar diukur berdasarkan kekayaan materi ataupun kepandaian. Kebahagiaan yang mereka rasakan ada di dalam hati mereka, yaitu kebahagiaan sebagai rakyat yang terlahir di bumi Indonesia ini. Seorang anak tidak pernah menyesal memiliki ayah yang miskin, apa yang seorang anak inginkan hanyalah kasih sayang dan keadilan dari sang ayah. Walaupun ayahnya hanya seorang pemulung, ia akan tetap bangga kepada ayahnya. Demikian juga kita sebagai bangsa Indonesia, walaupun negara tidak sanggup mencukupi kebutuhan kita, asalkan negara menegakkan keadilan dan mengasihi rakyatnya, itu rasanya sudah cukup. However, on the extreme side, we sometimes have excessive superiority feeling. We tend to have a narrow nationalism which is only based on our excellence. We became proud when our national team managed to win over other country’s national team, we became proud when our per capita GDP is higher than other country’s, or we became proud when our children managed to win international competitions. Yes, right, I’m using the word proud, not snobbish. There’s nothing wrong with the pride, but the wrong thing is the object of our pride. Is nationalism that narrow? Can we be proud of the young people who work as low-level workers in foreign countries? Can we be proud of the old people who are, while sweating profusely, plowing the field? Can we be proud of the fishermen who willingly left their families to earn a living for them? Can we be proud of those people who search inside rubbish bins in order to find something they can eat? Yes, I’m proud for all of them. The farmers, fishermen, maids.. Their jobs are as noble as teachers’, doctors’, entrepreneurs’, ministers’, even presidents’. In their modesty, they can still get happiness -- happiness which is not measured by how much you have or how clever you are. The happiness they feel in their hearts, the happiness to be a truly Indonesian -- born and living in Indonesia. A child would never regret to have a poor dad, all he/she wants are love and wisdom from him. Even if his/her dad’s job is only to pick up garbage, he/she would still be proud of his/her dad. Same thing applies to us as Indonesians, even though the country can’t make it to meet our demand, as long as the country loves us and keeps the justice, it’s already enough. Namun, nasionalisme seperti apa yang seharusnya kita miliki? Nasionalisme adalah suatu ikatan yang mempersatukan sekelompok manusia berdasarkan kesamaan identitas sebagai satu bangsa. Kita semua sebagai bangsa Indonesia adalah satu kesatuan dalam tubuh, tubuh yang tidak hanya terdiri dari satu anggota, tetapi atas banyak anggota. Orang Jawa, Aceh, Batak, Tionghoa, Ambon, Papua, Bali, Dayak, Toraja, dan suku-suku lainnya dalam keanekaragaman etnis, bahasa, dan agama mereka adalah anggota tubuh yang menyusun keseluruhan tubuh kita, yaitu Negara Kesatuan Republik Indonesia. Andaikata kaki berkata, “karena aku bukan tangan, aku tidak termasuk tubuh”, jadi benarkah ia tidak termasuk tubuh? Demikian pula mata tidak dapat berkata kepada tangan, “aku tidak membutuhkan engkau.” Dan kepala tidak dapat berkata kepada kaki, “aku tidak membutuhkan engkau.”. Kita semua adalah satu kesatuan, jadi jika satu anggota menderita, semua anggota turut menderita; jika satu anggota dihormati, semua anggota turut bersukacita. Sudah seharusnya anggota yang berbeda saling memperhatikan dan saling mengasihi supaya jangan terjadi perpecahan dalam tubuh. Namun seringkali perpecahan terjadi akibat adanya anggota tubuh yang ingin menonjolkan kesukuan atau agama mereka dan menolak untuk hidup harmonis dalam satu kesatuan. Itulah yang terjadi di Poso, Sampit, Papua, dan beberapa wilayah Indonesia lainnya. Yet, what kind of nationalism should we have? Nationalism is some kind of bond that unites one group of people based on the similarity of identity as a nation. We as Indonesians are one unity in a body, a body which contains not only one part, but many parts. Javanese, Batak, Acehnese, Chinese, Ambonese, Papuan, Balinese, Dayak, Torajan, and many other tribes are body parts that build our body, the Republic of Indonesia. Imagine the foot says “because I’m not the hand, I’m not included in a body”, but is it true that it’s not included in a body? Same thing applies if the eye says to the hand “I don’t need you.”. We are one unity, so if one part is in pain, all parts are in pain too; if one part is respected, all parts are happy too. It’s already meant to be that different parts should watch and love each other so that there wouldn’t be any “fight” in a body. On the contrary it often occurs that a fight happens because there is a “body part” that wants to bring up its own superiority and refuses to live peacefully in one unity. That’s what happened to Poso, Sampit, Papua, and several other Indonesian areas. Dalam survei Lembaga Survei Indonesia (LSI) yang diselenggarakan di Aceh, dilontarkan pertanyaan, “Apakah ibu/bapak lebih merasa sebagai orang dari suku-bangsa asal seperti Jawa, Sunda, Batak, Minang, dll., lebih sebagai orang dari agama tertentu (Islam, Kristen, dll.), atau lebih merasa sebagai orang Indonesia?” Perumus pertanyaan tersebut sedang membandingkan antara identitas etnik, religius dan ideologis. Hasilnya, menurut LSI bahwa orang Aceh lebih bangga menjadi orang Indonesia daripada seorang muslim atau aceh. Dengan lain kata, keindonesiaan (identitas ideologis) telah melampaui keislaman (identitas religiusitas) dan keacehan (identitas etnis). Dalam keanekaragaman etnis, agama, bahasa, dan budaya, mereka merasa bangga sebagai satu kesatuan bangsa Indonesia. Itulah Bhinneka Tunggal Ika yang sejati. In a survey held by Indonesian Survey Institution in Aceh, a question “What do you regard yourself the most? A person from a certain tribe, a person from a certain religion, or simply an Indonesian?”. The asker wished to compare between ethnic, religion, and ideological identity. The result, the Acehnese is generally more proud to be an Indonesian than a Moslem or an Acehnese. In other words, Indonesian ideological identity has passed over religious identity and ethnic identity. In the wide diversity of ethnics, religions, languages, and cultures, they feel proud to be one unity of Indonesian nation. That’s the true Bhinneka Tunggal Ika. Demikian pula halnya dengan internasionalisme, sama seperti suku Dayak yang adalah anggota tubuh dari bangsa Indonesia, demikian pula bangsa Indonesia adalah anggota tubuh dari dunia. Seperti kata bung Karno, “Nasionalisme hanya dapat tumbuh subur dalam taman sarinya internasionalisme.” Ketika kita menjunjung tinggi nasionalisme Indonesia, kita tidak boleh menganggap remeh apalagi membenci bangsa lain. Seringkali di era globalisasi ini, kita mengalami krisis identitas nasional. Krisis ini ditunjukkan dengan munculnya golongan fundamentalis di Indonesia, ini terjadi akibat sebagian masyarakat yang takut kehilangan jati diri mereka, mereka takut terbawa arus globalisasi, atau dengan kata lain mereka takut di-amerikakan. Dan di lain pihak, muncul efek samping yang lain, yaitu nasionalisme sempit seperti kasus Papua-Australia. Same thing applies to internationalism. The Dayak tribe is a part of Indonesia nation, and so is Indonesia is a part of the world. Bung Karno said “Nationalism can only grow well in internationalism”. When we strive highly for nationalism, we can’t set aside other nations, let alone hating them. It often happens that in this globalization era we have national identity crisis. This crisis is shown by the appearance of fundamentalists in Indonesia. This happened because certain people are afraid to lose their identity and being carried away by globalization, or in other words, they’re afraid to be Americanized. On the other side, another side effect appears, which is the narrow nationalism explained earlier. Kita seharusnya tidak perlu takut akan pluralisme global karena secara fakta bangsa Indonesia sendiri adalah bangsa yang plural, kita terdiri dari berbagai macam suku bangsa, berbagai agama, berbagai budaya, berbagai bahasa dan berbagai golongan. Bangsa kita sebenarnya adalah miniatur dari Perserikatan Bangsa Bangsa. Ketika suku Jawa berinteraksi dengan suku Batak, Minang atau Madura sebenarnya mereka sedang menghadapi globalisasi dalam lingkup yang lebih kecil. Globalisasi bukanlah musuh yang harus ditakuti tapi yang penting adalah bagaimana membina hubungan antara global dan lokal, antara kaya dan miskin, dan antara kaum mayoritas dan minoritas supaya keharmonisan bisa terwujud. Namun yang terjadi di Indonesia adalah sebaliknya, keharmonisan itu seakan-akan menjadi hal yang sangat sulit untuk diwujudkan. Di sisi lain, yang muncul adalah kebencian, baik kebencian antar suku, antar agama, dan antar golongan. Bila kita mengingat kasus Sampit, Poso dan Ambon, sebenarnya musuh orang Dayak bukanlah orang Madura, musuh etnis Thionghoa bukanlah etnis Jawa dan musuh orang Islam bukanlah orang Kristen, tetapi musuh kita bersama adalah kebencian di dalam hati kita masing-masing, kebencian yang sudah ditanamkan oleh penjajah Belanda untuk memecah belah kita. Apakah kebencian yang ditanamkan itu sudah mengakar begitu kuat dalam diri kita? Jiwa kita harus melampaui keterbatasan suku, agama dan golongan, dan kita harus bersikap global dalam memandang keanekaragaman yang ada di Indonesia ini. Hanya ada dua unsur yang bisa mengubah Indonesia, yaitu unsur yang menyatukan (kasih) dan unsur yang menceraikan (benci). Mana yang akan kita pilih, itulah yang akan mengubah masa depan kita. Masih ada harapan untuk bangsa ini. Hidup Indonesia! We should not be afraid of global pluralism because factually the Indonesia nation is a plural nation, we’re comprised of numerous tribes, religions, languages, cultures, and factions. Our nation is actually a miniature from United Nations. When the Javanese interacts with the Batak, Minang, or Madurese, actually they’re facing a globalization in smaller scope. Globalization is not an enemy which should be feared but the important thing is how to keep a good relationship between global and local, between the rich and the poor, between the majority and the minority so that the harmonic environment can be achieved. Unfortunately what happened in Indonesia is the opposite, the harmonic environment seems to be so hard to achieve. What appears is hatred, a hatred between tribes, religions, and factions. If we remember those ethnic-related riots, the Dayak’s enemy is not the Madurese, the Javanese’s enemy is not the Chinese, but the real enemy is the hatred inside our hearts, the hatred that the Dutch has grown to make us fight with each other. Is that hatred really nailed deep inside our hearts? Our souls must get over those boundaries of tribes, religions, and factions. Furthermore, we must “act global” to overcome this diversity in Indonesia. There are only 2 elements that can change Indonesia, which are the uniting element (love) and the separating element (hatred). Our choice will change our future. There are still hopes for this nation. Long live Indonesia! Imam Benjol English translation by sylvdoanx
Written by: imambenjol |